Selasa, 19 Mei 2009

Senja Kotaku

Aku ingin menceritakan pengalamanku yang paling menarik ini kepada seluruh makhluk yang ada di dunia ini. Tapi aku berpikir, apakah mereka mau mendengar sekaligus meresapi ceritaku itu.
Minggu pertama bulan kelahiranku, aku mengirim pesan melalui sahabatku yang selalu setia membuaiku dalam kehangatan dunia khayalan. Tapi ia mengatakan, “aku tidak dapat membantu kamu kali ini, aku khawatir pesanmu itu tersangkut di tengah jalan”.
Minggu kedua bulan kelahiranku, aku mengirim pesan melalui sahabatku yang selalu setia menemaniku dikala keganasan malam mulai merobek-robek kulitku dan menusuk-nusuk tulangku, membuat jantungku terpacu untuk menyesuaikannya dengan kecepatan gelap itu menyerangku. Tetapi jawaban yang samalah yang aku terima, “aku tidak bisa, aku khawatir tidak dapat tepat waktu. Karena aku hanya bisa berjalan di malam hari saja”.
Minggu ketiga menjelang minggu kelahiranku, pada bulan kelahiranku. Aku sudah hampir putus asa, “akankah aku dapat membagi pengalamanku ini dengan teman-temanku, tepat pada saat mereka juga menikmatinya”.
Minggu ke empat bulan kelahiranku, tepat pada saat tanggal kelahiranku. Akhirnya kuputuskan untuk mengirim senja tersebut dengan pos kilat. Seperti hari-hari sebelumnya, akupun menunggu senja di pojok kotaku. Disebuah jembatan tua, dikelilingi tanaman perdu yang selalu akrab menyapaku setiap kali aku ketempat itu.
Tetapi hari ini berbeda dengan hari-hari sebelumnya, sepertinya sang senja tahu ia akan aku ambil dan aku kirim kepada temanku. Ia tidak ingin meninggalkan kotaku yang dipenuhi keunikan. Ia ingin selalu muncul di pojok kotaku yang menyimpan seribu kenangan, antara kenanganku dan kenangannya.
Aku ingin berteriak. Mengapa aku tidak dapat berbagi kebahagiaan dengan temanku. Mengapa hanya dapat aku nikmati sendiri, aku resapi sendiri, dan aku bayangkan di sana aku sendiri. Tetapi tidak ada orang lain yang dapat menikmatinya seperti aku. Alangkah egoisnya aku, yang rela bergembira diatas kesunyian dan kehampaan orang lain.
Aku pun pulang setelah berjam-jam menunggu sang senja yang tidak juga muncul di pojok kotaku. Tempat yang biasa ia kunjungi sebelum melanjutkan perjalanan ke belahan dunia yang lain.
Diedit : 11 Februari 2009

Footnote dibalik Vignet

“Apakah rangkaian kata itu sudah sesuai atau masih perlu diadakan perubahan?” inilah pertanyaan yang sering terlintas dalam pikiran seseorang ketika membaca tulisan : “ada footnote dibalik vignet”. Tulisan ini tidak terdapat disembarang tempat, karena tulisan tersebut hanya berhasil memenuhi brangkas otakku, bukan otak orang lain.
Menurut aku sih, tulisan tersebut hanya dirangkai dari perdebatan dua orang seniman. Seorang penulis mengatakan : “Lebih bagus ditulis beberapa buah footnote untuk menghias bagian bagian yang kosong pada sebuah halaman dalam sebuah buku”. Tetapi seorang pelukis mengatakan : “Tidak! Aku lebih setuju apabila sebuah vignet-lah yang menghiasi bagian yang kosong pada sebuah halaman dalam sebuah buku.”
Padahal, keduanya sama-sama bagus untuk menghiasi bagian yang kosong pada sebuah halaman dalam sebuah buku. Tetapi mereka berdua tetap berkeras terhadap pendapat mereka masing-masing. Tidak ada satu pun dari mereka yang mau mengalah, demi menghindari tersulutnya api kemarahan dari kedua belah pihak.
Tetapi pada detik-detik terakhir menjelang aksi kekerasan, muncullah seseorang yang mengetengahi masalah tersebut dengan mengatakan : “Mengapa tidak sebaiknya kalian menggabungkan kedua pendapat kalian menjadi serangkaian kata, yaitu : ‘ada footnote dibalik vignet’, aku rasa dari keduanya akan saling melengkapi dan menjadi lebih bermakna daripada mereka berdua berdiri sendiri”.
Akhirnya kedua seniman tersebut tersenyum puas, mendengar jawaban dari orang yang bijaksana tersebut. Tetapi dibalik senyuman mereka, tersimpan sebuah keinginan yang besar bagi mereka berdua untuk menciptakan kata yang baru untuk diperdebatkan kembali.

Ditulis : Kamis, 22 Desember 2005
Diedit : Minggu, 25 Januari 2009